Setyo Manggala, Guru Bocah Terminal Depok Dengan Hasil Foto Yang Memukau

Setyo Manggala – Di tengah hiruk-pikuk Terminal Depok yang identik dengan kemacetan, bising klakson, dan lalu lalang manusia yang tak pernah berhenti, muncul sosok yang tak disangka-sangka: Setyo Manggala. Ia bukan fotografer profesional lulusan luar negeri, bukan pula selebgram dengan jutaan pengikut.

Ia hanyalah seorang guru biasa, namun dengan mata tajam bonus new member 100 dan tangan cekatan dalam membidik realita. Yang ia potret bukan model berwajah simetris atau selebritas papan atas, melainkan anak-anak terminal bocah-bocah pinggiran yang kerap di pandang sebelah mata.

Dan hasilnya? Mencengangkan. Menggetarkan. Bahkan bisa membuat fotografer profesional menggigit jari.

Mengenal Setyo Manggala, Anak Jalanan Jadi Bintang Lensa

Setyo Manggala tak slot depo 10k memilih lokasi berkilau atau studio mewah dengan lampu mahal. Ia turun ke jalan, menyatu dengan kehidupan keras anak-anak terminal. Bocah dengan wajah dekil, pakaian lusuh, dan tatapan tajam itu di sulap oleh Manggala menjadi objek foto yang tak kalah artistik dari model fashion majalah Vogue.

Latar belakang tembok kumuh, aspal retak, hingga warung kecil pinggiran menjadi panggung dramatis yang memperkuat narasi visual Manggala. Ia tak hanya memotret wajah, tapi menangkap jiwa. Tatapan bocah-bocah itu berbicara tentang harapan, kerasnya hidup, dan ketulusan yang belum tercemar topeng sosial.

Baca Berita Lainnya Juga Hanya Di axiomboudoir.com

Dan siapa sangka, potret itu viral. Media sosial meledak. Banyak yang tak percaya bahwa foto-foto menakjubkan itu bukan hasil editan canggih, melainkan bidikan jujur dari lensa seorang guru negeri.

Kamera Murah, Hati Mahal

Yang membuat karya Setyo Manggala makin membakar emosi adalah kesederhanaan alat yang di gunakannya. Ia tak menggunakan kamera mirrorless jutaan rupiah atau lensa tele dengan spek tinggi. Kamera second-hand dengan lensa standar sudah cukup baginya. Tapi dengan hati yang tajam dan intuisi yang murni, hasilnya melebihi ekspektasi.

Ia tidak hanya jago membidik, tapi piawai merangkai cahaya alami dan memanfaatkan sudut-sudut yang sering di abaikan. Cahaya senja yang menerpa pipi bocah terminal, bayangan trotoar yang membentuk garis dramatis, hingga tatapan polos yang tak di buat-buat semuanya di susun dalam bingkai yang menggetarkan nurani.

Menggugah Banyak Orang, Mengusik Banyak Hati

Tak sedikit yang terprovokasi oleh karya-karya Setyo Manggala. Bukan hanya karena keindahan visualnya, tapi karena pesan sosial yang di tamparkan lewat setiap jepretan. Banyak yang mengaku baru “melihat” bocah terminal setelah melihat karya Manggala. Sebelumnya? Hanya bayangan di balik kaca mobil.

Bahkan beberapa pejabat daerah dan tokoh pendidikan mulai memberikan perhatian lebih kepada kondisi anak-anak jalanan. Ada yang menyebut Manggala sebagai “fotografer pengubah paradigma” ia memaksa publik melihat yang selama ini tak ingin mereka lihat.

Namun, tak semua menyambut hangat. Ada pula yang merasa terganggu. Mereka yang selama ini nyaman dengan narasi pembangunan dan angka-angka statistik kemajuan tiba-tiba di hadapkan pada realitas keras: bahwa masih ada anak yang menjadikan kardus sebagai tempat tidur, dan itu terekam indah dalam sebuah foto.

Dari Terminal ke Galeri

Karya-karya Manggala yang awalnya hanya berseliweran di media sosial kini mulai masuk ke ruang-ruang galeri. Beberapa komunitas fotografi mengundangnya sebagai pembicara, bahkan universitas seni mulai meliriknya untuk menjadi pengisi kelas tamu. Ironisnya, ia tetap bersikukuh bahwa dirinya bukan siapa-siapa hanya guru yang kebetulan mencintai anak-anak dan kamera.

Foto-fotonya kini dicetak dalam ukuran besar dan dipajang dengan bangga. Tapi yang membuat pengunjung terdiam bukan hanya kualitas visualnya, melainkan emosi mentah yang terpancar dari tiap wajah anak terminal yang ia potret.

Pendidikan, Kamera, dan Empati

Setyo Manggala mengajarkan bahwa mendidik tidak harus lewat buku. Ia mendidik dengan kamera, dengan kehadiran, dan dengan kepekaan. Ia hadir di tengah mereka yang paling mudah dilupakan, dan lewat fotonya, ia membuat mereka tak bisa lagi diabaikan.

Ia bukan guru biasa. Ia adalah pengganggu kesadaran kolektif. Fotografer rasa pendidik. Seniman rasa pejuang sosial. Dan satu hal yang pasti: ia tak akan berhenti.